Friday, August 17, 2012


Selain melatih lengan, kaki, perut, dan dada untuk kebugaran fisik, Mata juga ternyata dapat dilatih demi kebaikan indra penglihatan. Memang tak semua pakar sepakat bahwa olahraga mata (eye-robics) dapat membantu mempertahankan penglihatan. Akan tetapi, makin banyak spesialis terapi penglihatan percaya senam mata setiap hari dapat membuat mata Anda awet muda.

Logika di balik terapi penglihatan ini adalah bila Anda dapat merusak sistem penglihatan karena kebiasaan mengerjakan sesuatu dalam jarak dekat, berarti Anda dapat memulihkannya, kata Steven Ritter, O.D., dari State University of New York College of Optometri di New York City.

Spesialis terapi penglihatan atau vision therapist dapat meresepkan sampai sekitar 280 macam latihan. Tak satu pun dapat mengatasi masalah penglihatan semua orang. Akan tetapi tidak ada salahnya bila Anda mencoba beberapa di antaranya.

1. Membaca koran dari jauh
Apabila pekerjaan mengharuskan Anda duduk di depan komputer selama berjam-jam, cobalah yang berikut ini: Tempelkan satu halaman koran pada dinding yang kurang lebih berjarak 2,5 meter dari tempat Anda biasa duduk. Hentikan pekerjaan Anda setiap sekitar sepuluh menit untuk mengarahkan pandangan ke koran tadi. Berusahalah membaca tulisan di koran itu. Kemudian lihat lagi layar komputer Anda. Kerjakan ini berulang-ulang, masing-masing selama 30 detik, sekitar enam kali dalam satu jam. Latihan ini dapat membantu menghindari kekaburan yang sering dialami oleh para operator komputer di penghujung hari kerja.

2. Melempar bola ke dinding
Berdirilah pada jarak sekitar satu hingga satu setengah meter dari sebuah dinding yang kosong, menghadap ke arah dinding. Minta seorang teman berdiri di belakang Anda kemudian melontarkan sebuah bola tenis ke dinding. Ketika bola itu memantul dari dinding, cobalah menangkapnya. Latihan ini dapat membantu meningkatkan koordinasi tangan/mata Anda.

3. Membaca jempol sendiri
Acungkan jempol Anda sejauh-jauhnya. Buat gerakan melingkar, huruf X dan tanpa +, dekat dan jauh secara bergantian. Ikuti dengan mata Anda. Sementara itu, usahakan menangkap bayangan ruangan dalam medan pandangan Anda sebanyak mungkin. Teruskan latihan ini dengan sebelah mata tertutup. Ulang dengan sebelah mata yang lain. Ini dapat meningkatkan penglihatan periferal Anda.

4. Mengikuti sorotan lampu senter
Latihan yang menyenangkan ini dapat meningkatkan kemampuan Anda mengikuti sebuah benda dengan mata. Latihan ini memerlukan seorang teman dan dua buah lampu senter. Berdirilah di sebuah ruangan yang gelap, menghadap ke dinding. Mintalah kepada teman Anda agar menyorotkan lampunya ke dinding dan menggerakkannya dengan gerakan menyapu membentuk sebuah gelombang. Dengan lampu senter yang Anda pegang, ikuti lingkaran cahaya itu sambil berusaha menyeimbangkan sebuah buku yang diletakkan di atas kepala. Dengan begini Anda terpaksa mengikuti gerak cahaya dengan mata, tanpa menggerakkan kepala.

5. Membaca bola
Tulis sejumlah huruf atau angka pada sebuah bola softball atau bola dari styrofoam, pasang sebuah kaitan, kemudian gantung bola itu pads langit-langit dengan seutas tali. Makin kecil tulisan Anda, makin sulit latihan ini. Ayunkan bola itu. Cobalah menyebutkan huruf atau angka yang Anda lihat. Latihan ini membantu Anda tetap terampil mengikuti benda bergerak secara fokus.

6. Membuat untaian manik-manik
Latihan ini melatih kedua mata agar terpusat ke sebuah benda sasaran. Ini juga melatih otak untuk menggunakan kedua mata secara beruama-sama. Ambil benang sepanjang kira-kira 180 cm, masukkan ke dalam lubang tiga buah manik-manik yang mempunyai warna berbeda. Ikat salah satu ujung benang ke dinding dengan ketinggian sejajar mata, sedangkan ujung yang lain nanti Anda pegang di depan hidung. Geser salah satu manik-manik ke ujung dekat dinding, tempatkan manik-manik kedua pada jarak sekitar 120 cm dari hidung, sedangkan yang ketiga pada jarak sekitar 40 cm dari hidung.

Arahkan pandangan Anda ke manik-manik yang paling jauh. Anda akan melihat bayangan dua buah benang membentuk huruf V dengan manik-manik sebagai pusat. Pindahkan arah pandangan Anda ke manik-manik di tengah. Perhatikan huruf X yang terbentuk oleh bayangan benang dengan manik-manik tengah sebagai pusat. Kemudian pindahkan lagi pandangan Anda ke manik-manik paling dekat, dan saksikan huruf X yang serupa. Pindahkan pandangan Anda dari manik-manik sate ke yang lain dengan cepat, dan jangan lupa memperhatikan huruf V atau X yang terbentuk.

Apabila kedua mata Anda bekerja sebagai sebuah tim, Anda selalu harus menyaksikan dua bayangan benang saling menyilang ketika memusatkan perhatian Anda ke salah satu manik-manik. Jika mata Anda tidak bekerja sama, Anda akan menyaksikan pola-pola yang berbeda atau hanya sebuah benang.

Sumber : kompas.com
Istana Jogja

Istana Kepresidenan Yogyakarta terletak di ujung selatan Jalan Akhmad Yani (yang dahulu jalan Malioboro); Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kotamadya Yogyakarta. Kompleks ini dibangun di atas lahan seluas 43.585 meter persegi, sejak didirikannya Istana Yogyakarta tidak banyak berubah. Di halaman serambi depan tampak sebuah patung raksasa penjaga pintu (dwarapala) setinggi dua meter. Selain itu, terdapat sebuah tugu Dagoba (yang oleh orang Yogyakarta disebut Tugu Lilin) setinggi tiga setengah meter, yang senantiasa menyalakan api semu di puncaknya. Tugu ini terbuat dari batu andesit. Halaman belakang istana ditumbuhi oleh pepohonan besar dan tinggi yang dedaunannnya amat lebat dan rindang sehingga tampak seakan merindangi bangunan istana. Istana Kepresidenan Yogyakarta dikenal juga dengan nama Gedung Agung atau Gedung Negara, salah satu fungsi gedung utama istana, yaitu sebagai tempat penerimaan tamu-tamu agung.


Istana Kepresidenan Dari Depan Riwayat Istana Kepresidenan Yogyakarta bermula dari rumah kediaman resmi Residen Ke-18 di Yogyakarta (1823 – 1825). Ia seorang Belanda bernama Anthonie Hendriks Smissaert, yang sekaligus merupakan pemrakarsa pembangunan Gedung Agung ini. Gedung ini didirikan pada bulan Mei 1824 oleh A. Payen yaitu arsitek yang ditunjuk oleh gubernur jenderal Hindia Belanda. Pembangunan gedung ini sempat tertunda karena pecahnya Perang Diponegoro (1825 – 1830) dan dilanjutkan setelah perang itu usai (1832). Beberapa gubernur Belanda yang mendiami gedung tersebut adalah J.E. Jesper (1926 – 1927); P.R.W. van Gesseler Verschuur (1929 – 1932); H.M. de Kock (1932 – 1935); J. Bijlevel (1935 – 1940); serta L. Adam (1940 – 1942). Pada masa pendudukan Jepang, istana ini menjadi kediaman resmi penguasa Jepang di Yogyakarta, yaitu Koochi Zimmukyoku Tyookan.



Gdung Induk R. Garuda Pada tanggal 6 Januari 1946 Yogyakarta resmi menjadi ibu kota baru Republik Indonesia setelah pemerintah Republik Indonesia berhijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejak saat itu Gedung Agung berubah menjadi Istana Kepresidenan, rumah kediaman Presiden Soekarno, Presiden I RI beserta keluarganya.

Pada tanggal 28 Desember 1949, Presiden berpindah ke Jakarta, sehingga istana ini tidak lagi menjadi tempat kediaman Presiden. Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada masa dinas Presiden II RI, sejak tanggal 17 April 1988, Istana Kepresidenan Yogyakarta/Gedung Agung juga digunakan untuk penyelenggaraan Upacara Parade Senja pada setiap tanggal 17, di samping untuk Acara Perkenalan Taruna-taruna Akabri Udara yang Baru, dan sekaligus Acara Perpisahan Para Perwira Muda yang Baru lulus dengan Gubernur dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan sejak 17 Agustus 1991, secara resmi Istana Kepresidenan Yogyakarta digunakan sebagai tempat memperingati Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan untuk DI Yogyakarta.

Istana Cipanas
http://img10.imageshack.us/img10/7357/istanacipanas.jpg
Istana Kepresidenan Cipanas terletak di Desa Cipanas, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, kaki Gunung Gede, Jawa Barat dari sebuah bantunan yang didirikan pada tahun 1740 oleh seorang tuan tanah asal Belanda bernama Van Heots, pada ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut, di atas areal lebih kurang 26 hektar dengan luas bangunan sekitar 7.760 meter persegi. Pada tahun 1916, masa pemerintahan Hindia Belanda di bangun tiga bangunan dengan nama Paviliun Yudistira, Paviliun Bima dan Paviliun Arjuna. Pada tahun 1954, di masa Presiden I Republik Indonesia Ir. Soekarno, didirikan sebuah gedung berhiasan batu bertentuk bentol.

Istana ini dibangun dengan keadaan panorama alam yang asri, udaranya bersih, sejuk dengan berlatar belakang Gunung Gede. Dalam areal hutan istana, hingga tahun 2001, menurut Katalog yang disusun secara alfabetis terbitan Istana Kepresidenan berkerja sama LIPI tercatat sebanyak 1.334 spesimen, 171 spesies, 132 marga, serta 61 suku. Selain dengan lingkungan yang asri istana ini juga dialiri air panas. sebagai tempat peristirahatan dan persinggahan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya, para kepala negara tetangga yang berkunjung ke Indonesia. Pada tahun 1971, Ratu Yuliana meluangkan waktunya untuk singgah.

Gedung Bentol

istcpnsbentol.jpgGedung Bentol terletak di belakang Gedung Induk berada di lereng gunung, maka bangunan ini berdiri lebih tinggi dari pada bangunan-bangunan yang ada, merupakan produk dua arsitek anak bangsa,

RM.Soedarsono dan F. Silaban. Sekelilingnya amat hening, sunyi dan sepi, suasana ini yang oleh Presiden Soekarno, dipakai untuk menyusun berbagai rencana dan strategi membawa bangsa ini yang dikorbarkannya dalam pidato kenegaraan, pada setiap peringatan hari proklamasi.

Pemandian Air Panas Presiden

bagian belakang Gedung Induk, masih terdapat bebarapa bangunan, namun yang paling besarperanannya terhadap keberadaan Istana Kepresidenan

Cipanas adalah sumber air panas yang mengandung mineral. Maslahatnya bagi kesegaran dan kebugaran raga memang sanga alami, oleh karena itu, untuk menampung limpahan air dari sumber alam tersebut didirikan dua buah bangunan pemandian, yaitu bangunan dikhususkan untuk mandi Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya, dan yang satu lagi lebih besar diperuntukan rombongan yang menyertai Presiden dan Wakil Presiden.

Istana Jakarta
http://img10.imageshack.us/img10/4848/istanajakarta.jpg
Komplek Istana Kepresidenan Jakarta terletak di Jl. Merdeka Utara, berdekatan dengan Taman Monumen Nasional (Monas); di jantung ibu kota negara, di atas tanah seluas 6,8 hektar, di ketinggian lebih kurang 5 meter dari permukaan laut.

Istana Kepresidenan Jakarta terdiri dari dua bangunan istana, yaitu Istana Merdeka yang menghadap ke Monas, dan Istana Negara, yang menghadap ke Sungai Ciliwung, Jl. Veteran, selain itu terdapat pula bangunan lain dalam lingkungan Istana Jakarta, yaitu Kantor Presiden, Wisma Negara, Masjid Baiturrahim, dan Museum Istana Kepresidenan serta halaman yang ditumbuhi oleh pepohonan besar dan tua, yang berdaun rindang dan berakar berjuntai, serta berkat rerumputannya yang menghampar laksana permadani hijau, Istana Jakarta tampak teduh dan asri.

Istana Kepresidenan Jakarta fungsinya lebih difokuskan kepada kegiatan resmi kepresidenan, selain sebagai kantor Presiden Republik Indonesia juga sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat kenegaraan, pelatikan pejabat-pejabat tinggi negara, pelantikan perwira muda TNI, penerimaan tamu-tamu negara, penyerahan surat-surat kepercayaan duta besar negara sahabat, pembukaan musyawarah dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasional, dan sebagai tempat memperingati Detik-Detik Proklamasi pada setiap tanggal 17 Agustus.

Istana Negara.

Istana ini banyak mencatat peristiwa, diantaranya : Jenderal de Kock menguraikan rencananya untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro dan merumuskan strateginya dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen, dan Gubernur Jenderal Johannes van de Bosch menetapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel).

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 25 Maret 1947, di gedung ini pula terjadi penandatanganan naskah Persetujuan Linggarjati, pihak Indonesia diwakili oleh Sultan Sjahrir dan pihak Belanda oleh Dr. Van Mook.

Istana Merdeka

Istana Merdeka dibangun pada tahun 1879, istanan ini banyak mencatat peristiwa luar biasa dalam kehidupan pemerintahan Indonesia sehingga istana ini lebih banyak mendapat keistimewaan di hati rakyat Indonesia. Salah satunya adalah riwayat tentang nama istana itu sendiri, nama yang menggunakan kata merdeka. Kata Merdeka bukan tiada atau hampa arti, kata merdeka laksana bara asa bagi pertanda terlepasnya belenggu penjajahan di bumi Indonesia seraya menjadi bangsa yang berdaulat.

Pada tanggal 27 Desember 1949, di Istana Merdeka terjadi peristiwa tentang pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Kerajaan Belanda melalui serangkaian upacara resmi yang dilaksanakan dalam waktu yang sama, baik di Belanda (Amsterdam pukul 10.00 waktu setempat) maupun di Indonesia (Jakarta dan Yogyakarta waktu pukul 16.00 waktu setempat). Pada hari itu di berbagai tempat dan penjuru tanah air, ratusan ribu pesawat radio menanti siaran dari Jakarta yang membawa berita luar biasa itu. Serta merta terdengar berita upacara penandatanganan dan penyerahan naskah tentang pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia Serikat itu.

Dengan waktu bersamaan bendera Merah Putih berkibar di depan Istana Merdeka sebagai pengganti bendera Belanda, lagu Indonesia Raya berkumandan, dan pekikan "Merdeka, merdeka, merdeka", yang menggema di seluruh pelosok tanah air, itu sebabnya istana bernama Istana Merdeka.

Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pertama kali diadakan pada tahun 1950 tanggal 17 Agustus di Istana Merdeka.

Istana Bogor
http://img195.imageshack.us/img195/9835/istanabogor.jpg
Gedung Induk

Istana Kepresidenan Bogor terletak di Kelurahan Paledang, Kecamatan Kota Bogor Tengah, Kotamadya Bogor, Jawa Barat, di sekitar 60 kilometer dari Jakarta atau 43 kilometer dari Cipanas. Istana ini berada di atas tanah berkultur datar, seluas sekitar 28,86 hektar, di ketinggian 290 meter dari permukaan laut, tergolong ke dalam kota beriklim sedang, dengan hawa sejuk sangat sesuai untuk peristirahatan. Alam disekitar istana ini indah dan terasa nyaman, halamannya ditata seakan-akan tampak laksana permadani hijau yang terhampar mengelilingi bangunan istana. Selepas mata memandang, terbentang hamparan rumput yang segar menghijau, yang dirindangi oleh lebatnya aneka daun pepohonan terdiri dari 346 jenis pohon; Lima ratus sembilan puluh satu ekor rusa tutul (Axis-axis) manis bergerombol kesana-kemari; kolam-kolamnya berhias bunga teratai dan air semburat.

Riwayat Istana Kepresidenan Bogor bermula dari Gubernur Jenderal Belanda bernama G.W. Baron van Inhoff, yang mencari tempat peristirahatan dan berhasil menemukan sebuah pesanggrahan (10 Agustus 1744) yang diberi nama Buitenzorg (artinya bebas masalah/kesulitan). Dia sendiri membuat sketsa dan membangunnya (1745-1750) mencontoh arsitektur Blehheim Palace, kediaman Duke of Malborough, dekat kota Oxford di Inggris.

Namun, musibah datang pada tanggal 10 Oktober 1834 gempa bumi berat mengguncang sehingga istana tersebut rusak berat. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Albertus Yacob Duijmayer van Twist (1851-1856) bangunan lama sisa gempa itu dirubuhkan dan dibangun dengan mengambil arsitektur Eropa Abad IX. Kemudian pada tahun 1870, Istana Buitenzorg ditetapkan sebagai kediaman resmi para Gubernur Jenderal Belanda. Penghuni terakhir Istana Buitenzorg itu adalah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachourwer yang terpaksa harus menyerahkan istana ini kepada Jenderal Imamura, pemeritah pendudukan Jepang. Akan tetapi, riwayat telah mencatat sebanyak 44 gubernur jenderal Belanda pernah menjadi penghuni istana ini. Setelah masa kemerdekaan, Istana Kepresidenan Bogor (1950) mulai dipakai oleh pemerintah Indonesia

Gedung Induk R. Kerja

Fungsi utama Istana Kepresidenan, pada masa penjajahan Belanda istana berfungsi sebagai tempat peristirahatan. Namun setelah jaman kemerdekaan berubah menjadi kantor kepresidenan dan kediaman resmi Presiden Republik Indonesia.

Sejalan dengan fungsinya pernah terjadi di Istana Kepresidenan Bogor, antara lain
(a) Konferensi Lima Negara (28-29 Desember 1954)
(b)Penandatanganan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 lebih dikenal dengan Supersemar.
(c) Pembahasan masalah konflik Kamboja yaitu Jakarta Informal Meeting (JIM)
(d) Pertemuan Para Pemimpin APEC (15 November 1994).

Bagian-bagian Istana Kepresidenan Bogor, Gedung Induk terdiri dari Ruang Garuda sebagai Ruang Resepsi; Ruang Teratai berfungsi sebagai Ruang Penerima Tamu; Ruang pemutaran film; Ruang Kerja Presiden; Ruang Perpustakaan; Ruang Famili dan Kamar Tidur; Ruang Tunggu Menteri yang akan mengikuti acara. Gedung Utama Saya Kiri terdiri dari Ruang Panca Negara pernah berfungsi sebagai persiapan Konfrensi Asia Afika di Bandung; Kemudian Ruang Tidur dan Ruang Tengah sebagai tempat menginap Presiden, Tamu Negara, dan Tamu Agung. Gedung Utama Sayap Kanan berfungsi sebagai tempat menginap para Presiden sebagai tamu Negara berikut tamu Negara dan tamu lainnya. Paviliun Sayap Kiri berfungsi sebagai kantor Rumah Istana Bogor, sedangkan Paviliun Sayap Kanan sebagai tempat menginap para pejabat dan staf tamu Negara. Bahkan pada tahun 1964 dibangun khusus untuk istirahat Bapak Presiden dan keluarganya, yang dikenal dengan nama Dyah Bayurini.

Istana Tampak Siring Bali
http://img21.imageshack.us/img21/1154/proftampak.jpg
Istana Kepresidenan Tampaksiring berada pada ketinggian lebih kurang 700 meter dari permukaan laut, berlokasi di atas perbuktian di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Pulau Bali. Merupakan satu-satunya istana kepresidenan yang dibangun masa pemerintahan Indonesia yang dibangun pada tahun 1957 - tahun 1960, sepenuhnya ditangani oleh putra-putra Indonesia, atas prakasa Presiden I Republik Indonesia : Soekarno.

Nama Tampaksiring diambil dari dua buah kata bahasa Bali, tampak (bermakna telapak) dan siring (bermakna miring). Menurut legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu berasal dari bekas tapak kaki seorang raja yang bernama Mayadenawa. Kawasan hutan yang dilalui Raja Mayadenawa dengan berjalan di atas kakinya yang dimiringkan itulah wilayah ini dikenal dengan nama Tampaksiring.

Istana Tampaksiring dibangun secara bertahap, arsiteknya R.M Soedarsono. Pertama kali dibangun adalah Wisma Merdeka dan Wisma Yudhistira pada tahun 1957, dilanjutkan perampungan tahun 1963. Selanjutnya untuk kepentingan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XIV, di Bali pada tanggal 7 - 8 Oktober 2003, di bangun gedung baru dan merenovasi Balai Wantilan, bangunan pintu masuk tersendiri yang dilengkapi dengan Candi Bentar, Kori Agung, serta Lapangan Parkir berikut Balai Bengongnya.

Istana Tampaksiring difungsikan disamping untuk acara-acara Presiden dan Wakil Presiden dalam hal kepemerintahan dan kenegaraan, juga peruntukan untuk tempat peristirahatan bagi Presiden dan Wakil Presiden peserta keluarga, serta bagi tamu-tamu negara. Menurut catatan, tamu-tamu negara yang pernah berkunjung ke Istana Kepresidenan Tampaksiring, antara lain Presiden Ne Win dari Birma (sekarang Myanmar); Presiden Tito dari Yogoslavia, Presiden Ho Chi Minh dari Vietnam, Perdana Menteri Nehru dari India, Perdana Menteri Khruschev dari Unit Soviet, Ratu Juliana dari Belanda dan Kaisar Hirohito dari Jepang.

Komplek Istana Kepresidenan Tampaksiring kini terdiri dari lima gedung utama dan satu pendapa. Dua gedung utama diberi nama Wisma Merdeka (1.200 meter persegi) dan Wisma Negara (1.476 meter persegi) yang dipisahkan oleh celah bukit sedalam lebih kurang 15 meter namun terhubung dengan jembatan sepanjang 40 meter, tiga gedung utama yang lainnya diberi nama Wisma Yudhistira, Wisma Bima, dan ruang untuk konferensi, serta Balai Wantilan.

Sumber: kaskus.us
Menjelang Kemerdekaan
  • Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau “Dokuritsu Junbi Cosakai”, berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
  • Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
  • Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
  • Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang (sic).
  • Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
  • Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
  • Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
  • Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
  • Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana –yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka –yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Perjuangan Menjelang Kemerdekaan
  • Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda Tadashi dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
  • Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti “transfer of power”. Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
  • Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Fakta Detik-detik Proklamasi
  • Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 – 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
  • Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
  • Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
  • Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.
  • Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia ( Hatta, 1970:53 ).
  • Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
  • Sementara itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan baru tidur setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.
  • Marwati Djoened Poesponegoro ( 1984:92-94 ) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.
  • Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
  • Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
  • Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu“. ( Koesnodiprojo, 1951 ).
  • Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: ” lebih baik seorang prajurit ,” katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.
  • Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.
  • Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!
  • Setelah upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi ( 1984:77 ) mengemukakan bahwa ada sepasukan barisan pelopor yang berjumlah kurang lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi sekali lagi. Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati, ia keluar dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar keterangan itu Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
  • Tidak lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan menunggu di ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk, sehingga terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang dengan Bung Karno: ” Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” Proklamasi sudah saya ucapkan,” jawab Bung Karno dengan tenang. ” Sudahkah ?” tanya utusan Jepang itu keheranan. ” Ya, sudah !” jawab Bung Karno. Di sekeliling utusan Jepang itu, mata para pemuda melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun segera pamit. Sementara itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga lembar ( saat itu belum ada rol film ). Sehingga dari seluruh peristiwa bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada 3 ( tiga ) ; yakni sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran bendera, dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa yang sangat bersejarah
Indonesia flag raising witnesses 17 August 1945.jpg
  • Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
  • Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
  • Banyak orang -ya paling tidak saya- berpikir bahwa suara Bung Karno membacakan proklamasi itu mengudara juga di radio pada hari yang sama saat Indonesia merdeka. Ternyata bukan begitu ceritanya. Jumat, 17 Agustus 1945, sekitar jam 17:30 WIB. Saat itu Pak Jusuf sedang berada di kantornya, Hoso Kyoku (Radio Militer Jepang di Jakarta). Tiba-tiba muncullah Syahruddin, seorang pewarta dari kantor berita Jepang Domei dengan tergesa-gesa. (Catatan: Pak Jusuf sempat meralat kebenaran berita bahwa yang datang itu adalah sejarawan Des Alwi). Syahruddin yang masuk ke kantor Hoso Kyoku dengan melompati pagar itu menyerahkan selembar kertas dari Adam Malik yang isinya “Harap berita terlampir disiarkan”. Berita yang dimaksud adalah Naskah Proklamasi yang telah dibacakan Bung Karno jam 10 pagi. Masalahnya, semua studio radio Hoso Kyoku sudah di jaga ketat sejak beberapa hari sebelumnya, tepatnya sehari setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika. Jusuf kemudian berunding dengan rekan-rekannya, diantaranya Bachtiar Lubis (kakak dari Sastrawan dan tokoh pers Indonesia Mochtar Lubis) dan Joe Saragih, seorang teknisi radio. Beruntung, studio siaran luar negeri tidak dijaga. Saat itu juga dengan bantuan Joe, kabel di studio siaran dalam negeri di lepas dan disambungkan ke studio siaran luar negeri. Tepat pukul 19:00 WIB selama kurang lebh 15 menit Jusuf pun membacakan kabar tentang proklamasi di udara, sementara di studio siaran dalam negeri tetap berlangsung siaran seperti biasa untuk mengecoh perhatian tentang Jepang. Belakangan tentara Jepang mengetahui akal bulus Jusuf dan kawan-kawannya. Mereka pun sempat disiksa. Beruntung mereka selamat. Malam itu pun radio Hoso Kyoku resmi dinyatakan bubar, tetapi dunia saat itu juga sudah mengetahui kabar tentang proklamasi langsung dari mulut Jusuf Ronodipuro. Sayang rekaman suara ini tidak diketahui lagi keberadaannya, atau jangan-jangan sudah tidak ada mengingat malam itu juga radio tersebut ditutup oleh Jepang.
  • Momentum perayaan Hari Kemerdekaan pada tahun ini ternyata istimewa. Itu karena detik-detik proklamasi pada tahun 1945 juga bertepatan dengan bulan Ramadan.
  • Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00, ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Pating greges, keluh Bung Karno setelah dibangunkan de Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta. Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah. “Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. masih meriang.
  • Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nantikan selama lebih dari tiga ratus tahun!
Gambar Perangko Negara tetangga yang ada gambar Soekarno:


Di Negara Adidaya:

Presiden Sukarno baru tiba di bandara Washington DC, AS, pada siang hari. Didampingi oleh wakil presiden AS, Richard Nixon, Bung Karno disambut penuh oleh pasukan AS dengan 21 kali tembakan kehormatan. Bung Karno tiba di Washington dalam rangka kunjungan selama 18 hari di AS atas undangan Presiden AS, David Dwight Eisenhower (Foto: 16 Mei 1956).
Kalo sekarang SBY ke amrik diperlakukan kayak gini ga ya??

Presiden Sukarno dan Presiden AS, Kennedy, duduk bersama di dalam mobil terbuka, sedang melewati pasukan kehormatan di pangkalan Angkatan Udara AS, MD. Bung Karno datang ke AS dalam rangka pembicaraan masalah insiden Kuba (Foto: 24 April 1961).

Bersama Mantan negara penjajah

Presiden Sukarno menjadi tamu kehormatan Kaisar Jepang, Hirohito, dan pangeran Akihito. Bung Karno dijamu makan siang di istana kekaisaran Jepang di Tokyo (Foto: 3 Pebruari 1958).

Menjadi cover majalah TIMES tahun 1946


Go International

Presiden Sukarno berdiri berdampingan dengan 4 pemimpin negara Non Blok setelah mereka selesai mengadakan pertemuan. Dari kiri kekanan : Pandit Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Kwame Nkrumah (Presiden Ghana), Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir), Bung Karno, dan Tito (Presiden Yugoslavia). Kelima pemimpin negara non blok ini mengadakan pertemuan yang menghasilkan seruan kepada Presiden AS, Eisenhower (Presiden AS) dan Perdana Menteri “Uni Soviet”/Rusia, Nikita Khruschev, agar mereka melakukan perundingan diplomasi kembali (Foto: 29 September 1960).


Presiden Sukarno bersama Perdana Menteri Perancis, Pompidou (Foto: 1965).

Presiden Sukarno sedang bercakap-cakap dengan Presiden Kuba, Osvaldo Dorticos Torrado (kiri), dan Perdana Menteri Kuba, Fidel Castro (kanan) di Havana, Kuba (Foto: 9 Mei 1960).

Presiden Sukarno tiba di bandara Karachi, Pakistan. Didampingi oleh Presiden Pakistan, Iskander Ali Mirza, Bung Karno tampak sedang memberi hormat, diapit oleh bendera Indonesia dan bendera Pakistan (Foto: 25 Januari 1958).

sumber: kaskus.us

Mohammad Hatta
  
Dr. Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Muhammad Athar, populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Bandar udara internasional Jakarta, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat. Pada tahun 1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.


Hamengkubuwana IX
Sri Sultan Hamengkubuwana IX (bahasa Jawa: Sri Sultan Hamengkubuwono IX), lahir di Yogyakarta, Hindia-Belanda, 12 April 1912 – meninggal di Washington, DC, Amerika Serikat, 2 Oktober 1988 pada umur 76 tahun. Ia adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.


Adam Malik 
Adam Malik Batubara (lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 22 Juli 1917 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 5 September 1984 pada umur 67 tahun) adalah mantan Menteri Indonesia pada beberapa Departemen, antara lain ia pernah menjabat menjadi Menteri Luar Negeri. Ia juga pernah menjadi Wakil Presiden Indonesia yang ketiga.


Umar Wirahadikusumah
Jenderal TNI (Purn.) Umar Wirahadikusumah (lahir di Situraja, Sumedang, Jawa Barat, 10 Oktober 1924 – meninggal di Jakarta, 21 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah Wakil Presiden Republik Indonesia keempat, yakni pada masa bakti 1983—1988.


Soedharmono
Soedharmono (lahir di Cerme, Gresik, Jawa Timur, Indonesia, 12 Maret 1927 – meninggal di Jakarta, 25 Januari 2006 pada umur 78 tahun) adalah Wakil Presiden Republik Indonesia yang kelima, antara tahun 1988 hingga 1993.
Pilihan Presiden Soeharto ini sempat dihadang oleh Brigjen Ibrahim Saleh, seorang anggota Fraksi ABRI, yang melakukan interupsi di dalam sidang yang akan segera menetapkan Sudharmono sebagai wakil presiden. Namun upaya ini gagal, karena Ibrahim Saleh segera disingkirkan dan dikeluarkan dari ruang sidang. Belakangan ia dinyatakan mengalami stress berat, bahkan gangguan jiwa. Saat itu memang terjadi ketegangan antara pihak Golongan Karya unsur sipil (Jalur G) dan birokrasi (Jalur B) yang menginginkan terpilihnya Sudharmono dan Golongan Karya unsur militer (Jalur A) yang menginginkan terpilihnya Try Sutrisno.
Lahir di Cerme, Gresik, Jawa Timur, ia sudah menjadi yatim piatu dari kecil. Dari bocah yang sejak usia 3 tahun berpindah-pindah orang tua asuh, ia tumbuh mencapai kursi puncak tertinggi kedua RI. Ibunya Soekarsi meninggal ketika melahirkan adik bungsu Soedharmono (1930). Ayahnya R. Wiroredjo meninggal 6 bulan kemudian karena sakit.


Try Sutrisno
Try Sutrisno (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 15 November 1935; umur 76 tahun) adalah Wakil Presiden Republik Indonesia yang keenam. Ia dilantik sebagai Wakil Presiden dibawah Presiden Soeharto pada Sidang Umum MPR tahun 1993, menggantikan Sudharmono. Ia menjabat sampai tahun 1998 dan digantikan oleh BJ Habibie.
Setelah turunnya Presiden Soeharto dan diizinkannya pembentukan partai-partai politik menyongsong Pemilu 1999, Try Sutrisno aktif dalam kepengurusan Partai Keadilan dan Persatuan yang pada Pemilu 2004 berubah namanya menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Di masa kecilnya Try Sutrisno pernah berjualan koran & rokok dikarenakan kedua Agresi Militer yang dilancarkan Belanda yang memaksanya berhenti Sekolah.


Bacharuddin Jusuf Habibie
Bacharuddin Jusuf Habibie (lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936; umur 76 tahun) adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatannya digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai presiden pada 20 Oktober 1999 oleh MPR hasil Pemilu 1999. Dengan menjabat selama 2 bulan dan 7 hari sebagai wakil presiden, dan 1 tahun dan 5 bulan sebagai presiden, Habibie merupakan Wakil Presiden dan juga Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek.


Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri atau umum dikenal sebagai Mega (lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947; umur 65 tahun) adalah Presiden Indonesia yang kelima yang menjabat sejak 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden wanita Indonesia pertama dan anak presiden Indonesia pertama yang mengikuti jejak ayahnya menjadi presiden. Pada 20 September 2004, ia kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam tahap kedua pemilu presiden 2004.
Ia menjadi presiden setelah MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Sidang Istimewa MPR diadakan dalam menanggapi langkah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang membekukan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar. Ia dilantik pada 23 Juli 2001. Sebelumnya dari tahun 1999-2001, ia menjabat Wakil Presiden di bawah Gus Dur.
Megawati juga merupakan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sejak memisahkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1999.


Hamzah Haz
Dr. H. Hamzah Haz (lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, 15 Februari 1940; umur 72 tahun) adalah Wakil Presiden Republik Indonesia yang kesembilan yang menjabat sejak tahun 2001 bersamaan dengan naiknya Megawati Soekarnoputri ke kursi Presiden Republik Indonesia. Dalam kepartaian, Hamzah Haz menjabat sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1998-2007.
Pada Pemilu 2004, Hamzah Haz dicalonkan sebagai calon presiden oleh partainya, PPP, berpasangan dengan Agum Gumelar sebagai calon wakil presiden, namun ia kalah dengan perolehan suara hanya 3%.
Hamzah Haz bergelar PhD (S3 / doktoral) dari American World University, sebuah institusi pabrik ijazah.


Muhammad Jusuf Kalla
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (lahir di Watampone, Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942; umur 70 tahun), atau sering ditulis Jusuf Kalla saja atau JK, adalah mantan Wakil Presiden Indonesia yang menjabat pada 2004 – 2009 dan Ketua Umum Partai Golongan Karya pada periode yang sama. JK menjadi capres bersama Wiranto dalam Pilpres 2009 yang diusung Golkar dan Hanura.


Boediono
Prof. Dr. Boediono, M.Ec. (lahir di Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943; umur 69 tahun) adalah Wakil Presiden Indonesia yang menjabat sejak 20 Oktober 2009. Ia terpilih dalam Pilpres 2009 bersama pasangannya, presiden yang sedang menjabat, Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Direktur Bank Indonesia (sekarang setara Deputi Gubernur). Saat ini ia juga mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada sebagai Guru Besar. Oleh relasi dan orang-orang yang seringkali berinteraksi dengannya ia dijuluki The man to get the job done.      
 

Presiden Pertama, Ir. Soekarno (1945-1966)
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.


Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi"
Presiden Kedua, Soeharto (1966-1998)
Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.

Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes, lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri tani.

Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.

Perkimpoian Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.

Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).

Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.

residen RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.

Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.

Kemudian sekira pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.

Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Isak tangis warga pecah begitu rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekira pukul 14.55, Minggu (27/1).

Seementara itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Presiden Ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie (1998-1999)
Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal.

Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung. Tak lama setelah bapaknya meninggal, Habibie pindah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie menjadi sosok favorit di sekolahnya.

Setelah tamat SMA di bandung tahun 1954, beliau masuk Universitas Indonesia di Bandung (Sekarang ITB). Beliau mendapat gelar Diploma dari Technische Hochschule, Jerman tahun 1960 yang kemudian mendapatkan gekar Doktor dari tempat yang sama tahun 1965. Habibie menikah tahun 1962, dan dikaruniai dua orang anak. Tahun 1967, menjadi Profesor kehormatan (Guru Besar) pada Institut Teknologi Bandung.

Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum namun tak sedikit pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan bergengsi Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman, beliau selalu menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.

Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto. Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur yang memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya ditolak MPR RI. Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah bermukim ke Jerman.

Sebagian Karya beliau dalam menghitung dan mendesain beberapa proyek pembuatan pesawat terbang :
* VTOL ( Vertical Take Off & Landing ) Pesawat Angkut DO-31.
* Pesawat Angkut Militer TRANSALL C-130.
* Hansa Jet 320 ( Pesawat Eksekutif ).
* Airbus A-300 ( untuk 300 penumpang )
* CN - 235
* N-250
* dan secara tidak langsung turut berpartisipasi dalam menghitung dan mendesain:
• Helikopter BO-105.
• Multi Role Combat Aircraft (MRCA).
• Beberapa proyek rudal dan satelit.

Sebagian Tanda Jasa/Kehormatannya :
* 1976 - 1998 Direktur Utama PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara/ IPTN.
* 1978 - 1998 Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
* Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi / BPPT
* 1978 - 1998 Direktur Utama PT. PAL Indonesia (Persero).
* 1978 - 1998 Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam/ Opdip Batam.
* 1980 - 1998 Ketua Tim Pengembangan Industri Pertahanan Keamanan (Keppres No. 40, 1980)
* 1983 - 1998 Direktur Utama, PT Pindad (Persero).
* 1988 - 1998 Wakil Ketua Dewan Pembina Industri Strategis.
* 1989 - 1998 Ketua Badan Pengelola Industri Strategis/ BPIS.
* 1990 - 1998 Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia/lCMI.
* 1993 Koordinator Presidium Harian, Dewan Pembina Golkar.
* 10 Maret - 20 Mei 1998 Wakil Presiden Republik Indonesia
* 21 Mei 1998 - Oktober 1999 Presiden Republik Indonesia
Presiden Keempat, Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Abdurrahman Wahid "Gus Dur"  adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.

Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.

Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.

Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkimpoiannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.

Pengalaman Pendidikan

Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.

Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.

Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.


Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut.

Perjalanan Karir

Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.

Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM.

Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.

Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
 Presiden Kelima, Megawati Soekarno Putri (2001-2004)
Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.

Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.

Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.

Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.

Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.

Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.

Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.

Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas.

Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.

Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6.
Presiden Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden RI ke-6. Berbeda dengan presiden sebelumnya, beliau merupakan presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam proses Pemilu Presiden putaran II 20 September 2004. Lulusan terbaik AKABRI (1973) yang akrab disapa SBY ini lahir di Pacitan, Jawa Timur 9 September 1949. Istrinya bernama Kristiani Herawati, merupakan putri ketiga almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo.

Pensiunan jenderal berbintang empat ini adalah anak tunggal dari pasangan R. Soekotjo dan Sitti Habibah. Darah prajurit menurun dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan Satu. Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang pendiri Ponpes Tremas. Beliau dikaruniai dua orang putra yakni Agus Harimurti Yudhoyono (mengikuti dan menyamai jejak dan prestasi SBY, lulus dari Akmil tahun 2000 dengan meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lulusan terbaik SMA Taruna Nusantara, Magelang yang kemudian menekuni ilmu ekonomi).

Pendidikan SR adalah pijakan masa depan paling menentukan dalam diri SBY. Ketika duduk di bangku kelas lima, beliau untuk pertamakali kenal dan akrab dengan nama Akademi Militer Nasional (AMN), Magelang, Jawa Tengah. Di kemudian hari AMN berubah nama menjadi Akabri. SBY masuk SMP Negeri Pacitan, terletak di selatan alun-alun. Ini adalah sekolah idola bagi anak-anak Kota Pacitan. Mewarisi sikap ayahnya yang berdisiplin keras, SBY berjuang untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi tentara dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) setelah lulus SMA akhir tahun 1968. Namun, lantaran terlambat mendaftar, SBY tidak langsung masuk Akabri. Maka SBY pun sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut 10 November Surabaya (ITS).

Namun kemudian, SBY justru memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) di Malang, Jawa Timur. Sewaktu belajar di PGSLP Malang itu, beliau mempersiapkan diri untuk masuk Akabri. Tahun 1970, akhirnya masuk Akabri di Magelang, Jawa Tengah, setelah lulus ujian penerimaan akhir di Bandung. SBY satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan Prabowo Subianto. Semasa pendidikan, SBY yang mendapat julukan Jerapah, sangat menonjol. Terbukti, belaiu meraih predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima penghargaan lencana Adhi Makasaya.

Pendidikan militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia, AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung (1988-1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991). Gelar MA diperoleh dari Webster University AS. Perjalanan karier militernya, dimulai dengan memangku jabatan sebagai Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) tahun 1974-1976, membawahi langsung sekitar 30 prajurit.

Batalyon Linud 330 merupakan salah satu dari tiga batalyon di Brigade Infantri Lintas Udara 17 Kujang I/Kostrad, yang memiliki nama harum dalam berbagai operasi militer. Ketiga batalyon itu ialah Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Batalyon Infantri Lintas Udara 328/Dirgahayu, dan Batalyon Infantri Lintas Udara 305/Tengkorak. Kefasihan berbahasa Inggris, membuatnya terpilih mengikuti pendidikan lintas udara (airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di Pusat Pendidikan Angkatan Darat Amerika Serikat, Ford Benning, Georgia, 1975. Kemudian sekembali ke tanah air, SBY memangku jabatan Komandan Peleton II Kompi A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) tahun 1976-1977. Beliau pun memimpin Pleton ini bertempur di Timor Timur.

Sepulang dari Timor Timur, SBY menjadi Komandan Peleton Mortir 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977). Setelah itu, beliau ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978), Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981), dan Paban Muda Sops SUAD (1981-1982). Ketika bertugas di Mabes TNI-AD, itu SBY kembali mendapat kesempatan sekolah ke Amerika Serikat. Dari tahun 1982 hingga 1983, beliau mengikuti Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983 sekaligus praktek kerja-On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983. Kemudian mengikuti Jungle Warfare School, Panama, 1983 dan Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984, serta Kursus Komando Batalyon, 1985. Pada saat bersamaan SBY menjabat Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)

Lalu beliau dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988) dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad) di Bandung dan keluar sebagai lulusan terbaik Seskoad 1989. SBY pun sempat menjadi Dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di Dinas Penerangan TNI-AD (Dispenad) dengan tugas antara lain membuat naskah pidato KSAD Jenderal Edi Sudradjat. Lalu ketika Edi Sudradjat menjabat Panglima ABRI, beliau ditarik ke Mabes ABRI untuk menjadi Koordinator Staf Pribadi (Korspri) Pangab Jenderal Edi Sudradjat (1993).

Lalu, beliau kembali bertugas di satuan tempur, diangkat menjadi Komandan Brigade Infantri Lintas Udara (Dan Brigif Linud) 17 Kujang I/Kostrad (1993-1994) bersama dengan Letkol Riyamizard Ryacudu. Kemudian menjabat Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995). Tak lama kemudian, SBY dipercaya bertugas ke Bosnia Herzegovina untuk menjadi perwira PBB (1995). Beliau menjabat sebagai Kepala Pengamat Militer PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force) yang bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia berdasarkan kesepakatan Dayton, AS antara Serbia, Kroasia dan Bosnia Herzegovina. Setelah kembali dari Bosnia, beliau diangkat menjadi Kepala Staf Kodam Jaya (1996). Kemudian menjabat Pangdam II/Sriwijaya (1996-1997) sekaligus Ketua Bakorstanasda dan Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998) sebelum menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI (1998-1999).

Sementara, langkah karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memutuskan untuk pensiun lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Tak lama kemudian, SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya sebagai Mentamben karena Gus Dur memintanya menjabat Menkopolsoskam. Pada tanggal 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Tetapi pada 11 Maret 2004, beliau memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam. Langkah pengunduran diri ini membuatnya lebih leluasa menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan nasional. Dan akhirnya, pada pemilu Presiden langsung putaran kedua 20 September 2004, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla meraih kepercayaan mayoritas rakyat Indonesia dengan perolehan suara di attas 60 persen. Dan pada tanggal 20 Oktober 2004 beliau dilantik menjadi Presiden RI ke-6.

Berikut ini data lengkap tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Nama : Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono
Lahir : Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949
Agama : Islam
Jabatan : Presiden Republik Indonesia ke-6
Istri : Kristiani Herawati, putri ketiga (Alm) Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo
Anak : Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono
Ayah : Letnan Satu (Peltu) R. Soekotji
Ibu : Sitti Habibah

Pendidikan :
* Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
* American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
* Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
* Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
* On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
* Jungle Warfare School, Panama, 1983
* Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984
* Kursus Komando Batalyon, 1985
* Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
* Command and General Staff College, Fort Leavenwort, Kansas, AS
* Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS

Karier :
* Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)
* Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
* Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
* Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
* Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981)
* Paban Muda Sops SUAD (1981-1982)
* Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
* Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
* Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988)
* Dosen Seskoad (1989-1992)
* Korspri Pangab (1993)
* Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
* Asops Kodam Jaya (1994-1995)
* Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
* Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak awal November 1995)
* Kasdam Jaya (1996-hanya lima bulan)
* Pangdam II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
* Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
* Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
* Mentamben (sejak 26 Oktober 1999)
* Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid)
* Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri) mengundurkan diri 11 Maret 2004

Alamat : Jl. Alternatif Cibubur Puri Cikeas Indah No. 2 Desa Nagrag Kec. Gunung Putri Bogor 16967





Sumber